Polaberita.com/JAKARTA- Maskapai penerbangan BUMN, PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA), saat ini masih memiliki kewajiban membayar gaji karyawannya senilai US$ 23 juta (Rp 333,50 miliar, asumsi kurs Rp 14.500/US$) per 31 Desember 2020.
Kewajiban tersebut merupakan imbas dari penundaan pembayaran gaji karyawannya mulai dari level staf hingga direksi dan komisaris pada April-November 2020 lalu.
“Estimasi dari Jumlah tunjangan Gaji yang saat ini ditunda/belum dibayarkan per 31 Desember adalah sebesar US$ 23 juta,” tulis manajemen Garuda, dalam keterbukaan informasi yang disampaikan perusahaan, dikutip Rabu (9/6/2021).
Penundaan pembayaran ini diberlakukan secara bertingkat, mulai dari 10% untuk level staf, 25% untuk level duty manager dan supervisor, lalu 20% untuk flight attendant, expert, dan manajer.
Kemudian sebesar 25% untuk level manajer senior, sebesar 30% untuk level vice president, captain, first office dan flight service manager. Sedangkan untuk direksi dan komisaris diberlakukan penundaan pembayaran sebesar 50%.
Saat ini perusahaan membiayai keberlangsungan operasional perusahaan jangka pendek dari pendapatan operasional.
Perusahaan telah mendapatkan dukungan pemerintah melalui penerbitan obligasi wajib konversi senilai Rp 8,5 triliun secara total. Obligasi ini diserap oleh PT Sarana Multi Infrastruktur (Persero)/SMI.
Baca: Sedang Sulit, Garuda Pulangkan Dua Boeing 737-800 ke Lessor
Perusahaan telah mencairkan dana tersebut senilai Rp 1 triliun pada 4 Februari 2021 dan telah digunakan seluruhnya untuk pembayaran biaya bahan bakar kepada Pertamina.
Untuk pencairan berikutnya, terdapat beberapa persyaratan pencairan yang ditetapkan pemerintah dan harus dipenuhi, namun saat ini perusahaan masih belum bisa memenuhi persyaratan tersebut karena tekanan kinerja dan kondisi keuangan di awal 2021.
Selain itu, dukungan pendanaan melalui program kerja ekspor National Interest Account (NIA) senilai Rp 1 triliun dan diberlakukannya Kebijakan Stimulus Subsidi PJP2U pada komponen tarif tiket pesawat.