Polaberita.com /GARUT – Pemberitaan viral diberbagai media sosial, salah satu warga Kabupaten Garut mendatangi gedung Ombudsman Repblik Indonesia jalan HR. Rasuna Said Kav. C-19 Kuingan, Jakarta pada Rabu, 18 Oktober 2021 guna menyampaikan laporan terhadap lembaga anti rasuah Koisi Pemberantasan Korpssi (KPK) RI.
Asep Muhidin salah satu warga Garut membeberkan adanya kabar tersebut, bahkan bukan hanya lembaga anti rasuah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dilaporkan, tetapi Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) pun turut dilaporkan.
“Saya melaporkan KPK atas adanya dugaan disparitas atau pilih-pilih dalam memberikan pelayanan publik kepada masyarakat, karena sejak bulan 15 Februari 2021, saya mengirimkan surat permohonn kepada KPK agar melakukan pengkajian dan supervisi kepada Inspektorat Kabupaten Garut sebagaimana surat nomor : 122/2/Masyarakat-Garut/2021,” kata Asep yang akrab disapa Apdar, (Sabtu, 21/8/21) melalui sambungan seluler.
Asep mengatakan Bukan tanpa alasan, dalam menyampaikan permohonan kepada KPK, tentu sudah sesuai dengan ketentuan Pasal 9 huruf a Undang-undang RI Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. ujar Asep
“Jadi saya sebagai warga Kabupaten Garut yang telah menempuh upaya hukum mulai dari persidangan di Komisi Informasi, PTUN hingga Mahkamah Agung dan telah memperoleh putusan yang memiliki kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) dari Mahkamah Agung RI dimana Inspektorat Kabupaten Garut harus menyerahkan salinan Laporan Hasil Pemeriksaan Desa, namun hingga saat ini, atasan PPID (Sekertaris Daerah) belum menyerahkannya, ini berarti adaya comtempt of court (pembangkangan hukum),” sebutya.
Jadi KPK haruslah memilikialasan hukum kenapa tidak merespon dan terdiam dengan adanya surat dari masyarakat biasa, padahal Undang-undang tidak membeda bedakan pemerintah dalam memberikan pelayanan publik.
Perlu diketahui, dengan diamnya lebaga anti rasuah yang dulu memiliki taring terhadap pencegahan, pemberantasan korupsi, saat ini mengalami kemunduran karena terkesan pilih-pilih dalam memberikan pelayanan publik, hal tersebut tentu bertetangan dengan tidak Pasal 9 huruf a dan Pasal 15 Huruf e Undang-Undang RI Nomor 19 Tahun 2019 Tentang Perbahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Junto Pasal 3 huruf b Undang-ndang RI Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik Junto Pasal 5 Huruf b, huruf c, dan Pasal 7 ayat (1), ayat (2) Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, jelas Asep Muhidin yang saat ini sedang mengunyah pendidikan Pascasarjana di Universitas Islam Bandung.(UNISBA).
Selain itu, Asep juga menuturkan, sekitar tahun 2020 lalu, Inspektur Inspektorat Garut Zat Zat Munajat menyampaikan adanya kerugian negara dari hasil pemeriksaan sebesar Rp 7,6 miliar yang belum dikembalikan dari desa dan kelurahan.
Atas dasar itu, ia sempat menyampaikan surat ke Inspektorat terkait informasi detail atau data dalam dokumen hasil pemeriksaan Inspektorat Garut tentang kerugian negara yang mencapai Rp 7,6 miliar tersebut.
Akan tetapi, ujar Asep, Inspektorat Garut hanya menjawab bahwa kerugian itu dari 51,8 persen atau Rp 7,6 miliar tersebut baru terpenuhi beberapa persen, jadi sisanya sekitar 40 persen belum dikembalikan.
“Apapun itu, Inspektorat harusnya memberikan dokumen yang dimintakan yaitu berupa hasil pemeriksaan dugaan kerugian negara yang belum dikembalikan, jangan sampai Inspekorat Garut menjadi mata rantai dalam menlindungi atau mentup-nutupi pelaku orupsi di Kabupaten Garut, jadi cukup pantas saya sebagai warga Garut meminta Komisi Pemberantasan Korupsi melaksanakan ketentuan Pasal 9 huruf a Undang-undang RI Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang TIPIKOR, ” bebernya.
Hal Ini kan terkesan Inspektorat ogah memulihkan kerugian negara yang sisanya sekitar Rp. 5 Milyar atau 41 persenan dari total 51,8 persen, padahal jelas dalam perjanjian kerjasama antara Kemendagri dengan Kejaksaan RI dan Kepolisian Republik Indoesia tentang Koordinasi APIP dengan APH dalam menangani laporan atau aduan masyarakat yang ditandatangani 28 Februari 2018, karena sebelumnya saya pun sudah melaporkan 5 (lima) desa dugaan penyalahgunaan wewenang yang berpotensi merugikan keuangan, namun jawabannya sangat klasik dari Inspektorat itu.
Asep pun memiliki dasar putusan perkara nomor 110/G/KI/2019/PTUN-BDG Jo Nomor : 275 K/TUN/KI/2020, meskipun Sekertariis Daerah Kabupaten Garut mengajukan upaya hukum luar biasa (Kasasi), tent kita harus melihat Pasal 66 ayat (2) Undang-undang RI nomor 14 tahun 1985 sebagaimana telah diubah keduakali oleh Undang-undang RI Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Udang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.
“Asep ternyata tidak hanya melaporkan KPK saja, tetapi Asep pun melaporkan Kemendagri RI ke Ombudsman RI, karena yang bersangkutan juga tidak pernah memberikan tanggapan maupun informasi terkait laporan adanya dugaan perbuatan melawan hukum dan etika dalam proses administrasi pelayanan publik.
Ia mengungkapkan, pihaknya dimenangkan dalam persidangan mulai dari komisi informasi sampai ke kasasi. Namun hingga sekarang naik ke peninjauan kembali (PK) upaya hukum luar biasa yang dilakukan Pemda Garut.
“Meski ada putusan inkracht dari Mahkamah Agung, Pemkab Garut dalam hal ini Inspektorat Garut itu tidak melaksanakan atau memberikan salinan LHP (laporan hasil pemeriksaan) tersebut. Padahal, dalam pasal 116 di PTUN itu jelas bahwa peninjauan kembali itu tidak menghambat atau menunda eksekusi putusan untuk memberikan informasi atau dokumen LHP Inspektorat Garut yang diminta saya,” ucapnya.
Asep pun mengaku heran dengan surat yang disampaikan Sekertaris Daerah Garut kepada PTUN Bandung tentang tindak lanjut atas penetapan perkara nomor 110/Pen.Eks/KI/2019.
BACA JUGA : Polisi terus Bagikan Bantuan Sosial Beras kepada Masyarakat
“Ada yang lucu dalam surat PK terebut, Saya juga heran dengan surat dari sekda garut. Ini suratnuya saya bacakan di poin tiga, Sekda menyebutkan pasal 66 ayat 2 Undang-undang nomor 51 tahun 2009 tentang perubahan kedua atas undang-undang nomor 5 tahun 1986 tentang PTUN, itu permohonan kembali tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan pengadilan,” tutupnya.(Mr)*